Kamis, 19 Desember 2013

Catatan Pembelajaran Matematika (Bagian 1)

Catatan pembelajaran matematika (Bagian 1)

14 Agustus 2013 pukul 20:12
Oleh : Sitti Maesuri Patahudin (Peneliti di Research Fellow, President Director diifed dan Pengajar di Universitas Negeri Surabaya)

Sebagian orang bilang matematika itu mudah dan menyenangkan.
Tapi saya selaku pendidik di bidang ini tak mau berpura-pura hebat dan mengatakan matematika itu mudah. Saya memahami reaksi orang lain yang mengatakan matematika itu sulit. Seorang Professor pendidikan matematika yang sudah sangat senior di Johannesburg dan terkenal di dunia pendidikan matematika juga bilang matematika itu memang sulit.

Siapa yang bilang mudah?
Kalau mudah, ngapain berjuta-juta penelitian yang telah dan sedang dilakukan untuk meneliti pembelajaran matematika?

Jadi kawan, jangan takut mengakui matematika itu sulit, karena memang sulit. Karena itu, untuk jadi guru matematika, kita harus belajar sungguh-sungguh untuk memahami matematika. Itulah salah satu alasan mengapa saya selalu menyiapkan sumber belajar matematika di FB saya.

Tak ada gunanya menguasai metode, model,pendekatan pengajaran yang kelihatan canggih, inovatif, baru, kalau materi yang diajarkan tidak dikuasai secara mendalam.

Sedalam mana sih? Ini hanya bisa terjawab kalau kita mempelajari dan mau memahaminya. Kedalaman itu bisa dimaknai kalau kita mau terbuka mendengar keluhan matematika dari orang lain dan penasaran mengapa obyek matematika tersebut sulit dan bagaimana mengatasinya?

Percaya tidak, dengan titel doktor yang saya miliki pun, ternyata saya masih menemukan diri saya, kurang memahami secara mendalam topik matematika tertentu. So what?
Apa ini salah?
Nggak salah lah. Memang saya belum tahu?
Yang penting kan saya mau tahu. Titel bukan jaminan seseorang paham. Kita semua harus terus belajar.

Dulu, saya sudah bertitel sarjana, artinya sudah bisa diangkat langsung jadi guru SMP atau SMA, tapi saya belum bisa menjelaskan mengapa, kalau membagi pecahan, pecahan yang kedua dibalik, setelah itu masing-masing pembilang dan penyebut dikalikan. Misalnya, 3/4 dibagi 2/7sama dengan 3/4 dikali 7/2 sama dengan (3x7)/(4x2) = 21/8.

Suatu ketika, saya tanya mahasiswa saya diIndonesia, bagaimana cara menjumlah dua pecahan. Kata salah satunya, kalau penyebutnya sama, maka jumlahkan pembilangnya sedangkan penyebutnya tetap.Misal, 1/5 +2/5 = (1+2)/5 = 3/5. Saya lanjut bertanya, mengapa demikian?Jawabnya, yah karena memang begitu! Di buku paket juga tertulis begitu!

Aha, seakan-akan matematika itu barang yang jatuh dari langit, dan memang sudah seperti itu bentuk dan aturannya.

Kawan, hakekat kerja otak adalah mencari makna,membuat hubungan- hubungan. Nah kalau kita mengajar, dan kita memberi aturan,dan aturan itu tak bermakna, bukan hal aneh kalau suatu ketika anak salah dalam menerapkan aturan.

Misalnya anak diminta mengalikan 1/5 x 2/5, sianak mengerjakan, (1x2)/5 = 2/5. Si anak sempat mengingat bahwa penyebut tidak berubah. Padahal jawaban yang benar adalah 2/25.

Mengapa kok pecahan itu sulit? Itulah pertanyaan utama yang saya tanyakan ke mahasiswa tadi sore.

Bayangkan kita butuh waktu untuk membangun konsep bilangan pada anak, hingga dia paham bahwa angka satu menunjukkan sebuah jeruk, atau sebungkus apel, selembar kertas, dst.

Tadi sore saya tunjukkan ke mahasiswa saya 3 buah jeruk.
Saya menghitung sambil menunjukkan sebuah jeruk, dua buah jeruk, tiga buah jeruk sambil bilang, "satu, dua, tiga"

Saya lantas mendekati satu mahasiswa dan memberinya 2 buah jeruk. Saya minta tolong supaya dia memberikan setengah dari jeruk yang ada di hadapannya. Dia lalu memberikan sebuah jeruk pada saya. Saya angkat tinggi-tinggi jeruk itu dan saya bilang ini setengah. Gila bukan? Tadi kita sepakat ini sebuah jeruk, dan sekarang buah yang sama menunjukkan setengah! Gila bukan?

Semua mata memandangku dengan serius. Ada yang bilang, "iya, ya. " Ada yang mengangguk-ngangguk.

Saya ambil lagi 3 jeruk dan saya minta tolongke mahasiswaku, berilah saya sepertiga dari jeruk itu. Si mahasiswa tadi memberiku satu biji, karena itu sepertiganya.
Saya pegang lagi jeruk tersebut, dan bilang,"lihat, ini gila bukan bagi sianak yang baru belajar bilangan. Satu jeruk yang sama, tadi dibilang satu, lalu dibilang, setengah, lalu sekarang dibilang sepertiga.”

Dengan gaya bhs Inggris Bugisku, saya mendekati satu mahasiswa. “Okay, sekarang saya beri Anda tiga jeruk. Tolong berikan saya setengahnya.” Sambil mahasiswa tadi megang jeruk, dia memandangku dan terlihat ragu. Mahasiswa lain pun tertawa. Saya bilang, "please..... Beri saya setengahnya." Akhirnya satu biji jeruk dibelah dua, lalu dia berikan saya satu setengah jeruk.

Kutunjukkan jeruk tersebut ke semua mahasiswa dan saya bilang, ini loh dibilang setengah. Gila bukan? Makanya kalau tidak hati-hati, anak bisa benci matematika. Terlalu membingungkan kan?

Hmmm, semua mahasiswaku jadi serius. Saya berharap, dia paham mengapa pecahan sulit bagi anak dan kita semua harus serius belajar cara pengajarannya supaya barang sulit ini akhirnya bisa dipahami. Saya juga paham betul bahwa kebanyakan mereka masih kesulitan dengan topik ini dan saya tidak ingin mereka takut dan malu. Saya dengan suara setengah berbisik bilang, “jadi matematika itu sulit, tapi jangan bilang-bilang ke siswamu ya kalau ini barang sulit”. Mereka pun tertawa.

Saya kemudian memanggil satu mahasiswa cewek. Dia cantik dan suka tersenyum ke saya. Di meja saya punya banyak permen coklat. Saya minta dia memberikan saya separuh dari permen tsb. Dia pun membagi dua secara satu persatu. Satu permen di taruh sebelah kanan, satu permen di taruh sebelah kiri, masing-masing 12 permen.

Saya minta si cewek itu memberikan separuhnya keseorang cowok. Saya bilang separuh dari coklat itu sekarang ada pada si cowokitu. Nah, si cowok tadi saya minta lagi memberikan separuh permennya ke seorang cewek manis berambut lurus. Hasilnya dia berikan 6 biji permennya. Mahasiswapun setuju bahwa banyak permen si cewek manis itu separuh dari banyak permensi cowok, dan banyak permen tsb adalah seperempat dari banyak permen semula.Demikian seterusnya.

Nah, ini cara saya untuk memunculkan kesadaran tentang pentingnya konsep "a whole" atau konsep “keseluruhan”. Kalau bicara setengah, maksudnya apa? Seperti apa sih setengah itu? Kita perlu membantu anak membangun mental image. Gambaran di otak anak di mana dia bisa menghubungkan ide matematika dengan pengalaman sehari-harinya.

Kalau ngajar pecahan, hanya dipenuhi dengan prosedur tanpa makna, maka anak akan kesulitan menyelesaikan masalah sehari-hari. Padahal matematika itu wajib diajarkan pada semua anak, karena matematika menjadi bahan utama untuk mampu menyelesaikan masalah sehari-hari, bahan utama untuk bisa sukses dalam hidup.

Kadang sih ada yang bilang, “ngapain peduli sama pecahan, wong tidak dipakai dlm kehidupan sehari- hari.” Ialah, kita makan tanpa pakai pecahan, kita mandi tak perlu pecahan. Ini mungkin karena guru mengajar matematika secara tak bermakna, hanya penuh dengan angka-angka, hitungan-hitungan,dan lupa membelajarkan siswa bernalar.

Padahal, saya pribadi suka matematika, karena saya tak perlu menghafal. Matematika tidak mengutamakan hafalan. Kalau perlu, saat memberi ujian yang memerlukan rumus, rumus itu kita sediakan. Yang utama, mereka membuat keputusan yang benar, rumus apa yang cocok, mengapa cocok, dan bila cocok,bagaimana cara menggunakannya.

Inilah sekedar catatan pembelajaran matematika dari saya malam ini.
Saya harus merancang pembelajaran pecahan untuk minggu depan karena saya beraharap banget mahasiswa mendapat pencerahan, dan tidak rugi menghadiri workshop dari seorang wanita Indonesia seperti saya.Semoga mereka bisa merasakan manfaat keberadaanku di kelasnya. I always love mystudents, whoever they are and whereever they are.

sumber : https://www.facebook.com/notes/sitti-maesuri-patahuddin/catatan-pembelajaran-matematika-bagian-1/10151804742269489

0 komentar:

Posting Komentar